Ijinkan saya kembali bercerita tentang perjalanan pribadi dalam
menggapai visi ideal menyangkut kualitas diri dan peran dalam kehidupan:
Satrio Pinandhito. Sesungguhnya, Nusantara saat ini membutuhkan
kehadiran ribuan bahkan jutaan satrio pinandhita untuk mengisi
ruang-ruang kepemimpinan di berbagai sektor, sektor pemerintahan,
militer, maupun masyarakat sipil. Di tengah gonjang-ganjing politik yang
terus meningkat, ketimpangan sosial yang demikian akut, kualitas
lingkungan yang memburuk, kekacauan budaya, plus ancaman bencana alam,
jelas dibutuhkan kehadiran manusia-manusia yang mampu memberikan
terobosan, ide-ide segar, dan kepemimpinan yang bisa membawa negeri ini
ke arah yang baru.
Lalu mengapa harus satrio pinandhito? Satrio pinandhito menggambarkan
sosok ksatria, pemimpin komunitas, politik atau militer, yang juga
memiliki jiwa kepanditaan. Jiwa kepanditaan ini tercerminkan dalam
kesadaran spiritual yang tinggi dan budi pekerti luhur. Kontras dengan
yang terjadi saat ini: tengah meruyak fenomena “Petruk dadi ratu”.
Petruk, sejatinya adalah profil punakawan atau pengemong para satria
yang baik.
Namun, ketika ia memaksakan diri menjadi ratu atau satria tingkat
puncak, ia justru melahirkan berbagai kekacauan dan ketidakselarasan.
Sebabnya adalah, tanpa kapasitas menjadi pemimpin, ia memaksakan diri
menjadi pemimpin. Lebih jelas, “Petruk dadi ratu” menggambarkan sosok
“pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya, karena tidak memiliki
kecakapan, kharisma, kualitas moral, keteladanan dalam budi pekerti, dan
justru terjebak oleh egoisme dan nafsu tercela”. Berlawanan dengan itu,
satrio pinandhito mengandaikan keberadaan sosok pemimpin yang
benar-benar bisa menjadi pemimpin dan sanggup menghadirkan kebaikan
karena memang memiliki semua kualitas yang dibutuhkan: kualitas
spiritual, manajerial, emosional. Dalam konsepsi modern, satrio
pinandhito sebanding dengan pemimpin profetik – pemimpin yang memiliki
kualitas “kenabian”, yang sanggup melakukan hal-hal yang tak bisa
dilakukan manusia pada umumnya, melampaui tantangan yang teramat sulit,
bahkan menciptakan keajaiban.
Di kisahkan setelah tahta Kerajaan Majapahit runtuh karena serbuan bala
tentara Kerajaan Demak, Sebagian besar para pembesar kraton melarikan
diri ke berbagai daerah untuk menyelamatkan diri. Dengan menyamar
seperti rakyat jelata, mereka berlari menyelamatkan diri agar identitas
mereka tidak diketahui dan membantu Kerajaan Demak dari luar. Dan untuk
menghindari kejaran musuh, mereka sering keluar masuk hutan,
menyeberangi sungai yang besar sampai mendaki gunung untuk menyelamatkan
diri melakukan pengembaraan tak tentu arah.
Di antara para pembesar Kerajaan Majapahit yang melakukan pengembaraan
itu, ada yang telah sampai di Pegunungan Seribu ( daerah diperbatasan
Jawa Tengah dan DIY). Namanya Pangeran Banjaran (nama Samaran)
Pangeran Banjaran adalah Bangsawan yang sangat mencintai rakyat dan
beliau adalah seorang pemuda yang gagah dan sakti dengan menguasai
beberapa ajian dan ilmu kesaktian Majapahit.
Dalam pengelanaannya, suatu ketika, dia dicegat oleh segerombolan begal
yang akan merampoknya. Namun, karena kemampuan kanuragan yang dia
miliki, Pangeran Banjaran tak sedikitpun gentar dengan begal yang hendak
merampoknya itu. Bahkan malah menantang begal-begal tersebut. Namun,
sebelum adu kanuragan terjadi antara Pangeran Banjaran dan begal-begal
terjadi, maka, muncullah sosok manusia yang melerai perkelahian itu.
Dengan bijaknya, sosok laki-laki yang melerai tersebut menasehati para
begal agar tidak melawan laki-laki yang dicegatnya, yang adalah Pangeran
Banjaran. Para begal tetap akan kalah ketika melawan Pangeran Banjaran.
Tetapi, apa yang dinasehatkan pada para begal seolah menguap begitu
saja. Bahkan laki-laki yang meleraipun akan dibininasakan juga.
Namun, sebelum hal itu terjadi, sosok laki-laki dengan pakaian wali
tersebut mengaku di sebagai Sunan Kalijaga. Maka, terkejutlah para begal
dan Pangeran Banjaran dengan kemunculan Sunan Kalijaga. Selanjutnya,
Pangeran Banjaran dan begal yang hendak merampoknya berlutut di hadapan
Sunan Kalijaga agar diterima menjadi muridnya. Dengan ketakutan
sekaligus kagum, para begal mengatakan bahwa mareka sebenarnya ingin
bertobat sejak lama. Maka diterimalah para begal dan Pangeran Banjaran
menjadi murid Sunan Kalijaga. Dan berangkatlah mereka menuju padepokan
sang Sunan.
Setelah sekian lama belajar pada Sunan Kalijaga, maka Pangeran Banjaran
mendapat tugas membabat alas Taruwongso dan membantu penduduk sekitarnya
untuk keluar dari paceklik yang tengah melanda mereka. Maka dengan
segala ilmu yang dimilikinya, didatangilah alas Taruwongso yang terkenal
sebagai istana para jin.
Dan dalam pengembaraannya sampailah Sang Pangeran di kaki Gunung.
Dalam pandangan Sang Pangeran Gunung didepannya mempunyai kekuatan aneh
yang membuat perasaan ingin tahu dan tertantang untuk mengetahuinya.
Maka dengan sikap hati-hati Pangeran melangkah mendaki gunung tersebut.
Belum sejengkal melangkah Pangeran dikejutkan dengan serangan hebat
dari sekelompok bangsa jin penunggu gunung Taruwangsa. dengan segera
Pangeran mengerahkan kesaktiannya untuk menangkis serangan bangsa jin
dengan membungkus diri dengan himpunan tenaga sakti, hingga tak satupun
serangan bangsa jin itu berhasil menyentuh tubuhnya.
Dengan kesaktian Pangeran Banjaran tersebut, bangsa jin yang jumlahnya
ratusan tersebut sangatlah tidak sepadan dengan kesaktian Sang Pangeran
Namun bangsa jin tersebut bukannya berhenti untuk menyerang, hingga
dengan segenap kemampuannya ingin segera menghentikan pertempuran ini.
Mendadak, dari tubuh Pangeran keluar pusaran angin yang sangat dahsyat.
Pusaran angin yang keluar dari tubuh Pangeran yang seperti angin puyuh
tersebuat membuat pohon-pohon bertumbangan dan batu-batu tebing
berhamburan hingga membuat ratusan bangsa jin terhempas kemana-mana.
Setelah terjadi pertempuran denan para jin penghuni alas Taruwongso,
keluarlah Pangeran Banjaran ebagai pemenangnya. Pemimpin bangsa jin
akhirnya mengakui kesaktian Pangeran dan pergi dari gunung itu dan
diperintahkan untuk ke gunung Lawu.
Maka sejak itu, Pangeran berkeinginan menetap di puncak Gunung Taruwangsa itu.
Melihat keadaan masyarakat sekitar alas Taruwongso yang sedang dilanda
paceklik dan mengidam-idamkan keadaan Raharjo, maka Pangeran Banjaran
menamakan daerah tersebut dengan nama Sukoharjo.
Ki Ageng Sutawijaya atau Ki Ageng Majastan yang tinggal di puncak gunung
Majasto mendengar bahwa di Gunung Taruwangsa sekarang tidak angker lagi
berkeinginan untuk mengetahui kebenaran cerita itu dengan datang
sendiri ke Gunung Taruwangsa. Sesampai sampai di lereng Gunung
Taruwangsa, Ki Ageng merasa kehausan dan ingin meminum buah kelapa yang
banyak tumbuh dilereng itu. Ki Ageng Majastan yang sakti itu melemparkan
sabitnya ke atas dan ada beberapa buah kelapa jatuh di dekat Ki Ageng
Majastan.
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Ki Ageng Majastan ," Apabila Ki
Ageng masih haus, Ki Ageng bisa memilih buah kelapa muda yang masih
segar di sini ", terdengar suara itu dan di lihatnya seorang pemuda.
Tiba-tiba saja pohon kelapa itu menunduk didepan Ki Ageng Majastan. Ki
Ageng Majastan itu pun tak kuasa menolak dan memilih beberapa buah
kelapa muda segar.
Ki Ageng Majastan sangat kagum terhadap kesaktian pemuda didepannya itu
maka dengan serta merta Ki Ageng Majastan mengajak berkenalan. Dari
perkenalan itu diketahui bahwa ternyata mereka adalah sama-sama
keturunan Majapahit. Ki Ageng Majastan sangat senang, begitu pula
Pangeran Banjaran. Untuk mempererat persaudaraan keduanya, Ki Ageng
Majastan berkehendak untuk menikahkan Sang Pangeran dengan salah satu
putrinya.
Hari pun berganti, tibalah musim penghujan kini tiba saatnya untuk
bertanam padi. Bertani adalah pekerjaan utama bagi masyarakat di
sekitar Gunung Majasto tempat Ki Ageng Majastan tinggal. Ki Ageng
Majastan yang telah tua itu bersedih. Ki Ageng tak mampu lagi untuk
mengerjakan sawah yang sangat luas itu. Di tengah kesedihannya ia
berguman menyesalkan pada Sang Pangeran yang tak datang membantunya. "
Orang tua kesulitan mengerjakan sawah kok anakku bersenang-senang di
puncak gunung ", begitu guman Ki Ageng. Anehnya, guman Ki Ageng yang tak
terdengar oleh oarang disekitarnya itu terdengar jelas oleh Sang
Pangeran di puncak gunung taruwangsa. Maka dengan mengerahkan
kesaktiannya Sang Pangeran diam-diam datang ke Majasta untuk
menegerjakan sawah seorang diri, menjadi tanah banjaran yang siap di
tanamai.
Alangkah terkejutnya Ki Ageng Majastan melihat sawahnya telah siap
ditanami ketika bersama warga desa datang ke sawah. Kemudian ia
berkata," Hanya satu orang di sekitar sini yang bisa melakukan pekerjaan
menakjubkan ini, dialah menantuku Wahai warga desaku, jadilah saksi
bahwa menantuku sekarang bernama BanjaranSari.
Maka sejak saat itu Pangeran Banjaran di kenal dengan sebutan Ki Ageng
Banjarasari sampai akhir hayatnya dan konon di makamkan di puncak Gunung
Taruwangsa.
Dan sebagai Salah satu tempat dalam perjuangan nya.
Tertarik dengan wisata sejarah, plus mencari suasana alam dengan
panorama menarik? Perjalanan ke makam Ki Ageng Banjaran Sari di Dukuh
Tengklik, Desa Watubonang, Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, boleh
dicoba. Makam yang terletak di kaki Bukti Taruwangsa ini cukup ramai
dikunjungi warga dan memiliki daya tarik tersendiri dari sisi sejarah.
Selain terdapat makam Ki Ageng Banjaran Sari, Bukit Taruwangsa terdapat
tujuh mata air atau sendang. Tujuh sendang itu adalah Sendang Jaya
Kusuma, Sendang Sikapa, Sendang Clarat, sendang Cahyawati, Sendang
Gendong, dan dua mata air yang namanya Sendang Kembar. Deretan bebatuan
unik ikut menambah daya tarik sekitar makam Ki Ageng Banjaran Sari.
Batu-batu itu diberi nama sesuai dengan bentuknya, yakni Batu Gajah,
Batu Kandang, Batu Pecak, Batu Manten, Batu Gua, Batu Gebyok dan Batu
Amben.
Oleh: Wiyonggo Seto
0 komentar:
Posting Komentar